Politik Orang Basudara (Refleksi 13 Tahun Buru Selatan)

Umum

Oleh : Hasan Bahta (Pemuda Buru Selatan)

Bipolonews.com – Eskalasi politik pada setiap momentum di  Buru Selatan, Maluku selalu menitipkan hawa “ganas” yang merusak hubungan persaudaraan, kekerabatan dan kehidupan sosial yang sejak lama terbina. Tradisi baku togor (saling sapa) lenyap hanya karena beda pilihan. Kehidupan pun berlangsung gersang selama bertahun-tahun. Apa yang terjadi gegara politik itu justru sangat bertentangan dengan filosofi hidup orang basudara, yang menjadi spirit hidup masyarakat Maluku pada umumnya. Filosofi itu yang kemudian melahirkan nilai-nilai, adat  istiadat, dan kebudayaan.

Pada era sebelum pemilihan langsung (DPRD, bupati dan lain-lain) potret kehidupan orang-orang Buru Selatan begitu syahdu, damai dan enak di pandang mata. Dalam keseharian satu sama lain  saling memberi : ikan, sagu, kasbi, sayuran dan segala kebutuhan pokok lainnya. Tradisi hidup berdampingan dengan saling menolong itu berlangsung berabad-abad lamanya. Di sinilah istilah gotong royong menemukan jalan nyatanya, secara definitif nampak dalam kehidupan orang-orang Buru Selatan, termasuk pola hidup dan interaksi masyarakat Kecamatan Ambalau, sebagai penegasan bahwa memang orang-orang di sini berasal dari induk yang sama.

Setelah terjadi pemilihan langsung (politik pasca reformasi) justru menjadi “batu sandungan”. Hadirnya momentum politik belakangan ini bersamaan menghadirkan “rasa benci” dan membuang “rasa sayang” antar sesama. Kebiasaan baku minta garam, lemon dan rica antar tetangga mulai hilang di telang fanatisme buta dan egoisme akibat  tak melek politik.

Bagi orang Buru Selatan (Maluku) Orang Basudara adalah sebuah gambaran spesifikasi diri bersama. Orang basudara bukan sebuah ide kosong dalam agenda intelektual, tetapi lebih sebagai sebuah asa yang menghidupi mereka, mengotaki mereka dan mengototi mereka dalam sebuah totalitas rasa yang hampir tanpa batas (berjuta rasa). Ia menjadi sebuah dasar fondasi, bagaikan batu penjuru didirikannya sebuah bangunan sosial budaya (adat) yang kokoh.

Orang Basudara menjadi nafas yang begitu lekat dalam derap nadi dan darah, membentuk sebuah arus kehidupan abadi yang utama tiada dua. Ia tertanam kuat dalam batin hati, tercerna dalam otak, dan mengalir dalam lakon membentuk atmosfir (kondisi dan kinerja), memancarkan aura dan senyuman khas anak negeri dengan sejuta rasa. Asa orang basudara dan rasa hidop orang basudara bukan arus yang menghanyutkan, tetapi arus yang memuarakan haluan-haluan kehidupan mereka menuju keabadian dengan keheningan spiritualitas.

Sebagai terminologi hidup yang menandai adanya falsafah dan kearifan hidup, habitat orang basudara dan tabiat hidop orang basudara mengandung nilai-nilai filosofis yang kaya, luas, dan mendalam. Ia terbuka menjadi sebuah agenda tugas yang perlu dipahami dan dilakoni dengan totalitas rasio, moral, dan etik. Ia bukan fosil sejarah masa lalu, tetapi pesona aktual dalam spektrum realitas zaman dan sejarah kehidupan. Ia bukan sekadar ada yang meniada, tetapi ada (koeksistensi) yang terus meng-ada (bereksistensi), berkeber-ada-an secara riil, obyektif, aktual, dan fungsional. Bahkan lebih daripada itu, ia mensubjektivasi nalar rasio dan batin serta mekanisme sosial anak negeri ini dalam suatu kesadaran kolektif yang utuh dan dinamis, membentuk sebuah obyektifitas aktual.

Orang basudara menjadi sebuah rujukan identitas dengan nilai keabadian dan keutamaan yang selalu menyegarkan kalbu dan nurani ke-Maluku-an setiap anak negeri dari generasi ke generasi dalam melintasi horizon waktu dengan spektrum- spektrum peristiwa penuh pemaknaan. Ia menjadi kekuatan pencerahan, fajar-budi, renaissance, dan tugas kultural yang akan membimbing, mengarahkan, dan mengembalikan “roh/jiwa,” geist anak negeri Maluku pada basis budayanya dalam mengusahakan kedamaian hidup dan kesejahteraan bersama. Terminologi orang basudara memadukan dua tipe penalaran yang bersifat dialektis, yaitu nalar rasio dan nalar sosial, sebagai sumber kearifan bersama. Ia bukan hanya membimbing nalar rasio yang linear tetapi juga nalar batin dan cermin diri.(A. Watloly dalam Epilog Bacarita Orang Basudara, 2014 : 367).

Bertolak dari konsepsi dan filosofi Orang Basudara tersebut di atas, dapat diintegrasikan dengan kata politik untuk menjadi satu konsepsi tersendiri : yakni Politik Orang Basudara, sebagai upaya mengawinkan kedua konsep untuk menghadirkan pengertian politik yang mudah dimengerti dan dapat diterapkan pada kehidupan orang-orang Buru Selatan, yang relevan dengan nilai, budaya dan adat istiadat. Politik secara definitif adalah sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat polity yang terbaik (Plato dan Aristoteles dalam Budiarjo, 2007 : 14). Atau sebagaimana apa yang disebut Peter Merkl : bahwa politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at its best is a noble quest for a good order and justice).

Dalam pada itu tentu perlu disadari bahwa persepsi mengenai baik dan adil dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi masing-masing dan zaman yang bersangkutan. Inilah argumentasi teoritis yang mempertemukan konsep politik dan orang basudara menjadi sebuah pandangan politik yang berbasis kultur, nilai dan tradisi yang berlaku dalam masyarakat Buru Selatan.

Politik Orang Basudara adalah hakikat berpolitik yang bersandarkan pada akal sehat dan hati nurani, sekaligus menjadi jembatan penghubung yang tak terputus antara pemerintah dan rakyatnya. Politik orang Basudara selalu mendekatkan rakyat dengan visi-misi dan pembangunan. Tidak menciptakan jurang pemisah antara anggota dan lembaga DPRD dengan rakyatnya (terutama konstituen dari dapil). Politik orang basudara anti disparitas pembangunan antar wilayah, selalu mengedepankan keadilan dan transparansi.

Terisolirnya Ambalau dalam konteks pembangunan menunjukkan masih ada kesenjangan dan disparitas antara wilayah, kecamatan lain di Buru Selatan nyaris sudah terintegrasi antar satu desa ke desa yang lain, Ambalau yang hanya seluas 306.000  km (BPS : Ambalau dalam angka 2020) tak terjamah oleh kepekaan pemerintahan, pembangunan jalan lingkar yang diimpikan tak pernah terlaksana. Politik Orang Basudara membangun dengan asas pemerataan dan keadilan, tak ada pilih kasih dalam menjalankan program pemerintah, semua kecamatan dan desa harus dilihat sebagai bagian yang sama untuk dibangun pemerintah.

Anggota dan lembaga DPRD Buru Selatan harus menjadi pelopor Politik Orang Basudara, bukan sebaliknya membangun jarak antara dirinya dengan rakyat. Kasus pedagang lokal yang tidak mendapat tempat jualan di Pasar Kai Wai, Namrole mencerminkan wakil rakyat tak punya kepekaan terhadap rakyatnya. Padahal nama pasarnya saja menggunakan simbol orang basudara. Terjadi ketidakadilan dalam permainan pasar ternyata sudah lama terjadi sejak kabupaten ini resmi berpisah dari induknya, Kabupaten Buru.

Anggota dan lembaga DPRD harus lebih dekat dengan rakyatnya, tak boleh pilih kasih, semua warga dalam konteks politik orang basudara memandang semua orang sama kedudukannya sebagai manusia. Anggota dewan harus bisa menemui semua lapisan masyarakat : tua, muda, laki-laki, perempuan, pemuda, petani, nelayan, guru dan komunitas yang ada untuk menyerap aspirasi. Jangan hanya rajin menemui kelompok elit di desa-desa, yang pada akhirnya aspirasi masyarakat secara tak pernah tersampaikan. Model penyerapan aspirasi yang konvensional sudah harus diganti dengan model yang lebih aspiratif, misalnya reses partisipatif yang dinilai sangat efektif dalam menjalankan tugas anggota dewan dengan baik dan transparan.

Kini, Buru Selatan telah berusia 13 tahun. Daerah ini dibentuk melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2008. Dalam undang-undang ini disebutkan alasan mendasar pembentukan Buru Selatan sebagai daerah otonomi yakni aspirasi yang berkembang di masyarakat dipicu oleh kondisi ekonomi dan rentang kendali. Selain itu, bahwa pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan dan pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta meningkatnya beban tugas serta volume kerja di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Kabupaten Buru, sehingga perlu dilakukan pemekaran wilayah Buru menjadi dua, di bagian utara adalah Kabupaten Buru dan bagian selatan menjadi Kabupaten Baru yakni Kabupaten Buru Selatan.

Mari berbenah, hilangkan semua egoisme dan fanatisme yang tak sehat. Mengejar ke tertinggal daerah kita, dari daerah lain telah lebih dulu maju. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah, hendaknya dibarengi dengan pengembangan kapasitas lembaga pemerintah agar tujuan pembangunan dapat tercapai. Kasus yang sering dijumpai dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah kecurangan dalam pengelolaan sumber daya daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya keuangan, akibatnya adalah kerugian bagi negara dan khususnya bagi masyarakat setempat. Selain itu dalam melaksanakan pembangunan daerah hendaknya memperhatikan keseimbangan lingkungan agar tidak menimbulkan permasalahan bagi daerah dikemudian hari, oleh karena itu perlu dibuat suatu kebijakan atau regulasi yang mengatur mengenai pemanfaatan sumber daya alam bagi pembangunan. Saran terakhir yang dapat sampaikan adalah terkait masalah disparitas antar daerah. Pembangunan daerah harusnya dilaksanakan secara menyeluruh sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, hal ini sangat penting dalam rangka menjaga entitas daerah. Itulah puncak dari semangat Politik Orang Basudara. (BN)

Bagikan :

Tinggalkan Balasan