Oleh : Hasan Bahta (Pemuda Buru Selatan)
Bipolonews com – Perilaku sejumlah anggota DPRD Buru Selatan yang lebih banyak “hadir” di kantor bupati ketimbang kantor mereka belakangan ini menuai sorotan publik. Para wakil rakyat itu dianggap lebih suka “cari muka” dihadapan bupati daripada konsisten pada tugas dan fungsi mereka. Perilaku politisi seperti ini sangat disayangkan karena bertentangan dengan etika politik dalam sistem demokrasi yang kita anut saat ini. Apalagi jika hal itu dilakukan oleh seorang unsur pimpinan DPRD sekaligus sebagai Ketua BK, itu sangat miris dan memalukan.
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti kebiasaan. Sementara menurut Surahwardi K. Lubis, dalam istilah Latin, ethos atau ethikos selalu disebut dengan mos, sehingga dari perkataan tersebut lahirlah kata moralitas atau yang sering diistilahkan dengan perkataan moral. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk mengelola kekuatan itu dan mengatur kepentingan kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi politik yang lebih adil. Dalam hal ini, seorang anggota Badan Kehormatan idealnya menguasai Filsafat Politik, Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum sebagai bentuk refleksi mendalam yang memungkinkan kehidupan politik mengungkap struktur-struktur, makna, dan nilainya secara etis. (Helmi Nuky Nugroho, 2017).
Meskipun tidak ada batasan dalam regulasi yang mengatur mengenai jumlah dan batas kunjungan anggota DPRD ke kantor bupati, tetapi kunjungan yang tidak berorientasi pada fungsi dan kode etik perlu dipertanyakan supaya para wakil rakyat lebih realistis dalam memaknai kemitraan antara mereka dengan kepala daerah. Jangan hanya menjadikan jabatan lima tahunan itu untuk memenuhi nafsu hedonisme, tajir dan utamakan kepentingan diri sendiri. Perilaku seperti ini lambat laun akan mencoreng nama baik institusi wakil rakyat yang berbuntut pada ketidak percayaan masyarakat pada lembaga ini.
Padahal kunjungan “basa-basi” yang terlalu sering dilakukan bisa jadi akan mengganggu konsentrasi kepala daerah dalam menjalankan tugasnya. Ada tugas penting yang mesti diselesaikan terpaksa harus ditunda karena “malu hati” ada tamu yang tak diundang tiba-tiba muncul. Kenyataan ini mesti disadari oleh para wakil rakyat, jangan hanya karena ada lobi-lobi diluar urusan rakyat para anggota DPRD sampai “hilang muka”. Jika dilihat dari perspektif etika keutamaan maka contoh kasus di atas menggambarkan bahwa kejujuran menjadi sesuatu yang langka dan mulai hilang dikalangan politisi di DPRD Buru Selatan. Kita melihat dan merasakan bahwa kejujuran sepertinya sedang minggat dari diri para politisi kita.
Yang diharapkan adalah hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah bisa berjalan sebagaimana mestinya, tentunya hal itu akan tercapai jika keduanya memiliki visi yang sama dan bukan saja menyangkut kelembagaan tetapi juga secara individu. Bahwa mereka merasa terikat dengan komitmen bersama untuk menjalankan pemerintahan yang bertujuan untuk kemaslahatan daerah, serta sama-sama menjalankan prinsip transparan, demokrasi, jujur, berkeadilan, bertanggungjawab dan obyektif, kemudian memperhatikan faktor yang ideal berdasarkan keinginan masyarakat dan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku serta norma-norma pada masyarakat. ( M. Agus Santoso, 2011).
Dalam Naskah Kode Etik Politisi dan Partai Politik yang disusun KPK dan LIPI menjelaskan, kode etik politisi adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang wajib dan mengikat dipedomani oleh setiap politisi untuk menjaga martabat kehormatan dan kredibilitas partai politik sebagai badan hukum publik yang memiliki fungsi menyeleksi pemimpin politik, membuat kebijakan publik, melakukan pendidikan politik, mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan publik, serta menjalankan komunikasi dan partisipasi politik, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Adanya kewajiban setiap anggota DPRD untuk mentaati tata tertib, kode etik dan memberikan pertanggungjawaban secara moral kepada konstituen di daerah pemilihannya, seharusnya anggota legislatif tersebut dapat mencerminkan sikap profesionalitas dan mengedepankan etika dan norma-norma sosial lainnya, namun belakangan ini berbagai pelanggaran kode etik oleh anggota DPRD banyak tak terungkap, mulai dari percaloan, pemerasan, penyalahgunaan kewenangan, bahkan melakukan tindakan-tindakan demoralisasi dan integritas profesi, yang mencerminkan kerusakan etika selaku pejabat daerah, karena kode etik berkaitan dengan moral, etika, norma dan agama.
Tak selamanya politik hanya ada kekotoran, juga ada keindahan, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat atau ketidakjujuran. Karena inilah politik harus dapat dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ketika seseorang berpolitik kejujuran menjadi sesuatu yang langka, padahal kejujuran para politisi bukan hanya keutamaan dasar yang harus kita tuntut, melainkan merupakan dasar kepribadian yang integral dan bertanggung jawab.
Menurut Isti Nursih Wahyuni (2014), etika tidak terbatas pada cara melakukan perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Lebih jauh dia menjelaskan, etika itu absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, ” jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
Karena itu, seorang politisi tidak hanya bersifat jujur ramah, namun harus penuh tanggung jawab. Seorang politisi tidak hanya pintar bersilat lidah namun mampu mempertangungjawabkan tindakan dan omongannya. Politik moral adalah sebuah kewajiban dalam penyelenggaraan politik yang sehat. Politik moral bagaikan sebuah panduan dan manual tindakan bagi politisi. Penuh tanggung jawab, populis, adil dan jujur adalah etika dalam politik yang tetap harus dijunjung tinggi. Orang jujur pertama-tama akan jujur terhadap dirinya sendiri, membenci segala macam rasionalisasi. Akhirnya, orang jujur tidak perlu mengompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas.
Kejujuran adalah prasyarat semua keutamaan moral lainnya. Semua sikap moral yang pada dirinya sendiri kita puji akan kehilangan nilai mereka bila orang yang memperlihatkannya tidak jujur. Kurangnya etika berpolitik sebagaimana perilaku politisi sekarang ini merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan. Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya politisi yang tidak jujur.
Sepertinya anggota parlemen atau politisi di Buru Selatan yang sungguh-sungguh jujur, berintegritas dan santun, yang melakukan praksis politik dalam koridor moral dan etika sudah sangat sulit dan langka. Namun bahwa di antara sekian banyak elit politik, tentu masih ada yang menjadikan kejujuran sebagai basis etikanya. Tinggi rendahnya integritas moral seseorang dalam berpolitik menentukan tinggi rendahnya integritas kepribadian dan kualitas berpolitik dari sang politisi tersebut. Dengan masih adanya politisi kita yang bermoral, memungkinkan kita bisa berharap akan adanya perbaikan politik dan moral bangsa yang sedang bobrok jatuh di titik nadir. Dan dengan demikian, ke depannya masih ada orang yang bisa dipilih untuk fokus memperjuangkan kepentingan rakyatnya. (*)