Desepsi Politik

Umum

Oleh : Hasan Bahta (Pemuda Buru Selatan)

Bipolonews.com – Hanya berbekal slogan “demi rakyat”. Bahkan ada yang lebih optimis, “untuk menyongsong perubahan”, lalu bergaya keren ala artis dan pemain sinetron, seseorang dengan percaya diri tinggi memproklamirkan komitmen maju sebagai calon, entah itu calon anggota legislatif, kepala daerah atau yang paling terkecil teritorinya, kepala desa.

Untuk menjadi seorang politisi zaman sekarang rasanya enteng saja, tak perlu memompa kualitas diri. Sebagaimana yang dilakukan para politisi terdahulu. Cukup punya modal finansial, popularitas, dan juga keahlian khusus memainkan diksi manipulasi dalam menyakinkan orang atau konstituen, serta pandai bermain akrobat. Jadilah dia seorang politisi kawakan. Setidaknya, itulah gambaran kehidupan politik kita hari-hari ini.

Pada suatu acara Mata Najwa, Najwa Shihab, presenter kondang Indonesia lantang berujar, seorang politisi memang punya kepandaian dalam menyembunyikan maksud yang sebenarnya. Apa yang dikatakan seorang politisi, itulah yang jarang dikerjakan atau lain di mulut lain pula di hati.

Dalam konteks itu, ada suatu istilah yang sering dikaitkan dengan perilaku politisi tersebut. Istilah itu disebut desepsi, berasal dari kata decieve yang berarti membuat orang percaya terhadap suatu hal yang tidak benar, menipu, atau membohongi. Desepsi meliputi berkata bohong, mengingkari, atau menolak, tidak memberikan informasi dan memberikan jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan atau tidak memberikan penjelasan sewaktu informasi dibutuhkan. (Prihatin Dwihantoro, 2013).

Perilaku politisi seperti itu tidak susah untuk dijumpai. Pada konteks kehidupan politisi lokal di Buru Selatan misalnya, kita sering disuguhkan kenyataan yang menampilkan bagaimana seorang politisi itu memainkan keahliannya (maaf) dalam menipu rakyat atau konstituennya. Bahkan ada politisi yang diidentikkan dengan perilaku bohongnya itu.

Seorang politisi yang kini menempati jabatan strategis di Kabupaten Buru Selatan seringkali diejek dengan kalimat “Tunggu nanti beta telepon”. Kalimat ini rupanya sering dilontarkan politisi itu setiap kali berpapasan dengan konstituennya di jalanan. Namun, dia tidak pernah menelepon orang tersebut sebagaimana yang dia janjikan. Karena sering melakukan hal serupa pada hampir semua orang. Istilah itu kemudian populer di kalangan konstituennya yang tersebar di Kecamatan Ambalau dan Waesama. Anda pasti tidak sulit mendeteksi siapa politisi yang saya maksud.

Selain itu, masih banyak lagi kebohongan-kebohongan yang selalu dia tampilkan. Yang tidak perlu saya ungkapkan di sini. Tapi ada satu istilah yang juga sangat populer yang mengidentikan dirinya, selain istilah yang tersebut di atas. Istilah lain itu adalah “nanti ka rumah”. Dia mengajak orang ke rumahnya, setelah orang-orang yang dia ajak itu ke rumah, ternyata dia sendiri tidak berada dalam rumahnya. Mereka lantas menghubunginya melalui saluran telepon seluler tapi tidak pernah dia jawab, padahal itu dilakukan secara berulang kali.

Karena keseringan mengingkari apa yang dia katakan, kini politisi tersebut mulai nampak panik mengingat tak lama lagi momentum pemilu akan segera tiba. Meski masih dua tahun lagi. Anggota DPRD Buru Selatan dua periode itu mulai sibuk mencari jejaring tim di desa-desa yang baru. Dia nyaris tak berani lagi membangun komunikasi dengan tim yang semula memilihnya pada pemilu 2019. Politisi yang terbiasa berbohong, akan terus berbohong. Baginya, berbohong sudah menjadi bagian dari hidupnya. Politisi jenis ini tak akan berkembang. Karena kebohongan akan tetap dikalahkan oleh kebenaran.

Fenomena politik tersebut di atas termasuk dalam ranah yang mendorong politisi untuk berperilaku tidak jujur, itupun dengan lihai dibungkus dalam istilah ”white lies” alias berbohong demi kebaikan. Padahal sebenarnya, berbohong demi kebaikan itu sama saja dengan paham menghalalkan segala cara. Kalau tujuan dipandang sebagai sesuatu yang benar, maka cara apapun boleh digunakan untuk mencapai tujuan itu, termasuk dengan berbohong. Politik sebagai instrumen untuk meraih kebajikan melalui artikulasi kepentingan seharusnya didasari oleh kejujuran. Hanya dengan kejujuran maka tujuan kebajikan tersebut akan bisa direalisasi.

Kemunafikan sebagaimana yang dipertontonkan para politisi itu sebenarnya telah mendapat larangan sangat keras dalam Islam. Bahkan terdapat peringatan yang keras dari Allah SWT kepada kita yang telah mengaku beriman: “Wahai sekalian orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Besarlah dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya” (QS.al-Shaff/61:2-3). Jelas sekali dari firman itu tersimpul ada harapan, bahwa seharusnya, seorang yang beriman kepada Allah atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tentulah satu kata dan perbuatannya.

Mengenai kebohongan ini, Mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln konon pernah mengucapkan kata-kata mutiara yang kemudian sering dikutip orang : “Kamu dapat menipu satu orang selama-lamanya, kamu juga dapat menipu semua orang satu saat, tapi kamu tidak akan dapat menipu semua orang selama-lamanya”. Dalam sejarah tidak ada suatu masyarakat atau bangsa yang selama-lamanya tertipu oleh pihak lain, termasuk suatu pemerintahan. Cepat atau lambat, masyarakat itu akan bangkit kesadarannya untuk meluruskan yang bengkok, secara damai atau pun dengan kekerasan. (Nurcholish Madjid, 2002 : 133).

Ucapan Lincoln itu terasa kurang lengkap. Kita bisa menambahkan dengan mengatakan : Dan kamu tidak akan dapat menipu hati nurani mu sendiri. Sebab hati nurani itu tunggal, dan selamanya hanya membisikkan yang benar dan yang baik saja. “Allah tidak membuat untuk seseorang dua hati dalam rongga dadanya” (QS. Al – Azhab/33:4).

Sayangnya, bahwa tujuan menciptakan kebajikan tersebut seringkali direduksi oleh berbagai tindakan para pelaku politik yang tidak mencerminkannya. Oleh karenanya, maka politik berbasis hati nurani dan kejujuran memang menjadi bagian yang seharusnya tidak terpisahkan dari seluruh tindakan para elit politik di mana pun posisinya. Jika di lembaga DPRD, maka yang harus dikembangkan adalah membangun trust serta sikap dan tindakan yang menjunjung kebenaran dan kejujuran.

Kejujuran dalam kehidupan berpolitik sangatlah penting sebagai usaha kolektif menyulap kondisi kedaerahan yang saat ini penuh kepalsuan beralih ke situasi yang dicita-citakan. Mulai dari persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, kejujuran ini akan sulit terwujud tanpa adanya dukungan dari semua pihak, terutama pemerintah.

Politisi yang baik adalah yang jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politisi yang menjalankan etika politik adalah seorang negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. (BN)

Bagikan :

Tinggalkan Balasan